Pages

Sejarah Singkat Syekh Quro

Sejarah Singkat Syekh Quro - Makam Waliyullah Syekh Qurotul’ain terletak di Kampung Pulobata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Karawang. Bangunan yang berdiri megah itu pada saat ini menjadi tempat berkunjung para peziarah dan PARIWISATA RELIGIUS dari berbagai pelosok Nusantara. Mereka datang, khususnya setiap Jum’at malam Sabtu atau sering, orang-orang menyebutnya istilah Sabtuan. Karamat Pulobata adalah Situs sejarah Islam yang merupakan asset kabupaten karawang dalam hal Paraiwisata dan menjadikan suatu aset penting dan berharga bagi Desa Pulobata yang utama.

Konon kabarnya Ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain dengan nama aslinya Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulama yang hafidz Al-qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya. Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah, penyebar agama Islam di negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih keturunan dari Sayidina Hussen Bin Sayidina Ali Ra. dan Siti Fatimah, putri Rosulullah SAW.


Pada waktu itu tanah Jawa masih di bawah kekuasaan Negeri Pajajaran dan masih menganut agama Hindu dengan seorang Raja yang bernama Prabu Anggalarang. Kekuasannya prabu tersebut meliputi wilayah Karawang. Sebelumnya datang ke tanah Karawang sekitar tahun 1409 Masehi, Syekh Quro menyebarkan Agama Islam di negeri Campa berawal, lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampai ke Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Di sini beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati, yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana dan oleh masyarakat sekitar. Mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut ajaran agama Islam.

Penyebaran agama Islam yang disampaikan oleh syekh Quro di tanah Jawa rupanya sangat mencemaskan raja Pajaran Prabu Anggalarang, sehingga pada waktu itu, penyebaran agama Islam agar dihentikan. Perintah dari Raja Pajajaran tersebut dipatuhi oleh Syeh Quro, Namun,kepada utusan dari Raja Pajaran yang mendatangi Syekh Quro, beliau mengingatkan meskipun ajaran agama Islam dihentikan penyebarannya tapi kelak dari keturunan Prabu Anggalarang akan ada yang menjadi seorang Waliyullah. 

Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa. Di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro. Tak lama kemudian Syekh Quro datang kembali ke negeri Pajajaran beserta Rombongan para santrinya dengan menggunakan Perahu dagang dan di dalam rombongan adalah Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman, Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom.  

Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali Citarum, yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai Keluar masuk para pedagang ke Pajajaran. Akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang.

Menurut buku sejarah masa silam Jawa Barat yang terbitan tahun 1983 disebut Pura Dalem. Mereka masuk Karawang sekitar 1416 M yang mungkin dimaksud Tangjung Pura, dimana kegiatan Pemerintaahan di bawah kewenangan Jabatan Dalem. Karena rombongan tersebut sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan sehingga aparat setempat sangat menghormati dan memberikan izin untuk mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka. Setelah beberapa waktu berada di pelabuahan Karawang, Syekh Quro menyampaikan Dakwah-dakwahnya di Mushola yang dibangunya ( sekarang Mesjid Agung Karawang ) dari urainnya mudah dipahami dan mudah diamalkan. Ia beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qur’an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar karawang. 

Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama murid-muridnya, Nyi Subang Larang, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti, Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Syekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (sayidina Usman bin Affan). 

Berita kedatangan kembali Syekh Quro, rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang yang pernah melarang penyebaran agama Islam di tanah Jawa, sehingga Prabu Anggalarang mengirim utusannya untuk menutup pesantren Syekh Quro. Utusan yang datang itu adalah Putra Mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa. Sesampainya di pesantren putra mahkota tersebut hatinya tertambat oleh alunan suara yang merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang, "Dalam mengalunkan suara pengajian Al-Qur’an”. 

Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Atas kehendak yang Maha Kuasa Prabu Pamanah Rasa menaruh perhatian khususnya pada Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya. Lalu akhirnya Prabu Pamanah Rasa melamar dan ingin mempersunting Nyi Subang Larang sebagai permaisurinya. Pinangan tersebut diterima tapi, dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus, yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berwirid. 

Selain itu, Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain yaitu, agar kelak anak-anak yang lahir dari mereka harus menjadi Raja. Seterusnya menurut cerita, semua permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah. 

Di tanah suci Mekkah, Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran dari Syekh Maulana Jafar Sidik. Prabu Pamanah Rasa merasa kaget, ketika namanya di ketahui oleh seorang kakek. Dan Kekek itu, bersedia membantu untuk mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Sang Prabu Pamanah Rasa denga tulus dan ikhlas mengucapkan, Dua Kalimah Syahadat yang makna pengakuan pada Allah SWT sabagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan Muhammad adalah utusannya. 

Semenjak itulah, Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau Tasbeh. Mulai dari itu, Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama Islam yang sebenarnya. Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Kraton Pajajaran untuk melangsungkan pernikahannya dengan Nyi Subang Larang. Waktu terus berjalan maka pada tahun 1422 M, pernikahan di langsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung oleh Syekh Quro. Setelah menikah Prabu Pamanahah Rasa dan dinobatkan sebagai Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi. 

Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunai 3 orang anak yaitu:
1. Raden Walangsungsang ( 1423 Masehi)
2. Nyi Mas Rara Santang ( 1426 Masehi)
3. Raja Sangara ( 1428 Masehi).
 

Setelah melewati usia remaja, Raden Walangsunsang bersama adiknya Nyi Mas Rara Santang pergi meninggalkan Pakuan Pajajaran dan mendapat bimbingan dari ulama besar Syekh Nur Jati di Perguruan Islam Gunung Jati Cirebon. 

Setelah kakak beradik menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walang Sungsang Menjadi Pangerang Cakra Buana dengan sebutan Mbah Kuwu Sangkan dengan beristerikan Nyi Mas Endang Geulis Putri Pandita Ajar Sakti Danuwarsih. Sedangkan Nyi Mas Rara Santang waktu pergi ke Mekkah diperisteri oleh Sultan Mesir yang bernama Sarif Abdulah (Raja Mesir), sedangkan Raja Sangara menyebarkan agama Islam di tatar selatan dengan sebutan Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat), wafat dan dimakamkan di Godog Suci Garut. Nyi Mas Rara Santang setalah menikah dengan raja Mesir Namanya diganti menjadi Syarifah Mudaim. Dari hasil pernikahannya dikaruniai dua orang putra masing-masing bernama Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Setelah ayahnya meninggal dunia, jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah, sedangkan Syarif Hidayatullah meneruskan menimba ilmu agama Islam dari ulama Mekkah dan Bagdad.

sumber: pelitakarawang.com
Untuk berlangganan artikel, masukan email anda disini:



0 Comment :

Posting Komentar

Bahasa dapat mencerminkan kepribadian seseorang.
Bagi yang ingin promosi web, blog dan atau mendapatkan backlink dari blog ini, telah disediakan tempat khusus. Klik DISINI

 

Info Olahraga

Info Komputer

Info Blackberry